REPRODUKSI SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara
umum masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari
seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan
sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkannya pada nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan
dan praktek. Namun demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebagai
satu hal yang mudah, sederhana dan tidak memerlukan pemikiran, karena istilah
pendidikan sebagai praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan
tujuan. Proses pendidikan bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu perilaku
kosong saja. Pendidikan diarahkan untuk mencapai maksud arah dan tujuan ke arah
sikap, perilaku dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi
pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara
bertanggungjawab dan dapat menjadi
manusia seutuhnya sebagaimana tujuan yang diharapkan.
Sistem
pendidikan merupakan salah satu cara paling berkuasa negara dalam mencampuri
proses reproduksi hubungan-hubungan sosial. Hal itu tercermin di dalam
kebijakan dan praktik pendidikan. Pengalaman-pengalaman di sekolah adalah
faktor kunci bagaimana individu dialokasikan pada jenis-jenis pekerjaan
tertentu. Tuntutan dunia kerja dan industri telah pula menjadi pusat perhatian dan
pembicaraan di kalangan masyarakat.Begitu jugadalam laporan dan dokumen-dokumen
yang ada cukup memberikan gambaran tarik ulur antara sistem pendidikan dengan
pelatihan-pelatihan yang dianggap lebih realistis dalam memenuhi tuntutan dunia
kerja. Di sisi lain munculnya sosiologi pendidikan lebih banyak membahas
tentang masalah organisasi dan budaya dengan lebih menekankan pada aspek
reproduksi struktur klas (klas buruh khususnya), serta pada nilai hubungan
perempuan dan laki-laki.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan
pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian darireproduksi sosial?
2. Bagaimanakahproses
lahirnya teori reproduksi sosial?
3. Bagaimanakah
hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial?
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan
pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1. Pengertian
reproduksi sosial.
2. Proses
lahirnya teori reproduksi sosial.
3. Hubungan
antara pendidikan dengan reproduksi sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Reproduksi Sosial
Reproduksi
berasal dari bahasa Inggris re yang
berarti kembali dan production yang
berarti produksi atau yang dihasilkan.1Sedangkan dalam Kamus Praktis
Bahasa Indonesia kata reproduksi diartikan hasil pembuatan ulang.2 Istilah
reproduksi
digunakan dalam beberapa hal dalam sosiologi. Dalam setiap penggunaan, istilah reproduksi
mengandung arti penggantian orang atau struktur dengan satu format baru yang mirip
dengan yang asli, sehingga sistem sosial dapat berlangsung terus. Definisi
dasar dari reproduksi adalah memproduksi lagi atau membuat salinan.
Reproduksi juga
dapat berarti menyalin apa yang ada di masa lalu, dan ini tidak mungkin terjadi
dengan cara yang tepat untuk masyarakat secara keseluruhan. Selalu ada kondisi yang
berubah baik menyangkutlingkungan, sosial, maupun ekonomi seiring dengan proses
perkembangan teknologi. Ada orang baru yang memiliki karakteristik yang
berbeda; seseorangberinteraksi dengan orang lain dengan cara baru dan berbeda
pula.3
Istilah
reproduksi sosial berbeda dengan produksi secara umum. Istilah produksi pada
umumnya mengacu pada produksi barang dan jasa sebagai komoditas (atau mungkin sebagai barang publik seperti jalan atau
infrastruktur telekomunikasi) dalam perekonomian.
Pada tingkat nasional, ini diukur dengan Produk Nasional Bruto (PNB), jumlah
total barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara, suatu ukuran yang dapat
ditentukan cukupakurat. Sebaliknya, reproduksi sosial mengacu pada tugas,
bersama-sama dengan barang dan jasa, yang kesemuanya diperlukan untuk memastikan bahwa reproduksi sosial sedang terjadi.
Tidak seperti produksi dalam perekonomian, banyak reproduksi sosial terjadi
dalam rumah tangga dalam bentuk
waktu dan energi yang dihabiskan mengurus diri sendiri atau orang lain.
Beberapa reproduksi sosial juga terjadi di lembaga publik seperti sekolah dan di lembaga-lembaga relawan dan organisasi non-pemerintah.Penekanan
dari reproduksi sosial adalah untuk
menyertakan reproduksi sosial sebagai
kegiatan sosial yang bermakna yang diakui oleh semua pihak dan biaya
yang dibutuhkan juga ditanggung secara bersama-sama.4
Merujuk
pada uraian di atas maka reproduksi sosial dapat diartikan sebagai proses untuk
melestarikan atau melanggengkan karakteristik struktur sosial tertentu atau
tradisi tertentu selama periode waktu tertentu juga.
B.
Proses
Lahirnya Teori Reproduksi Sosial
Perspektif tentang reproduksi sosial merupakan pengembangan lebih lanjut
dari teori konflik-nya Karl Mark–perlu difahami lebih dulu tentang latar belakang pemikiran Mark
yakni adanya eksploitasi besar-besaran
yang dilakukan oleh para pemilih modal/pengusaha (kaum kapitalis yang dikenal
juga dengan istilah kaum borjuis) terhadap kaum buruh (yang disebut juga dengan
kaum proletar).-5
Teori
konflik menekankan adanya konflik sebagai faktor terjadinya perubahan sosial.
Berbeda dengan teori fungsional yang menghendaki keseimbangan dan stabilitas
dan menghindari perubahan sosial, teori ini lebih menekankan terjadinya
perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan sesuatu yang harus diwujudkan di
masyarakat. Faktor utama yang mendorongterjadinya perubahan sosial adalah
adanya konflik yang terjadi di
masyarakat. Menurut Marx perubahan tidak saja dianggap normal,
tetapijustru dibutuhkan dan terus didorong untuk menghilangkan ketidakadilan.
Sehingga teori ini menekankan masyarakat sebagai subyekperubahan. Menurut perspektif ini, seluruh sistem pendidikan adalah
alat untuk menyebarkan ideologi kelompok dominan. Sehingga, pendidikan
merupakan sarana untuk mencapai kemakmuran dan status seseorang. Ketika
seseorang gagal dalam mencapai tujuan itu, menurut mitos tersebut, adalah hanya
karena kesalannya sendiri bukan karena penyebab di luar dirinya.
Kaum Marxis meyakini bahwa kontradiksi
material adalah asal-muasal dari segala sesuatu yang membuat hubungan antara
sesama menjadi centang-perentang. Manusia didorong oleh insting (naluri) untuk
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan adalah kontradiksi (masalah) karena ia
membutuhkan jawaban atau perlu diatasi. Karl Mark menyebutnya sebagai sebuah
tatanan sosial.6Sosialisme dianggap sebagai muara dari evolusi
hubungan manusia yang sejati karena di dalamnya kontradiksi dalam hubungan
produksi setara, berbeda dengan kapitalisme yang mana alat-alat produksi
dikuasai secara monopolis oleh sedikit orang (kapitalis). Sosialisme
menghendaki adanya sosialisasi alat-alat produksi dan sumber-sumber ekonomi,
kepemilikan pribadi (private property) terutama bagi aset-aset vital dan
menentukan hajat hidup orang banyak. Kepemilikan itulah yang menjadi sumber
kontradiksi hubungan antar manusia.
Pendekatan Marxis menyebutkan tiga hal yang menjadi
pokok persoalan dalam hubungan sosial yakni: Deterministik bahwaseseorang tidak
punya pilihan karena masa depan mereka ditentukan oleh struktur ekonomi dan
posisi mereka di dalamnya; Struktural bahwaapapun yang dilakukan seseorang
dalam struktur ekonomi akan berakhir pada reproduksi itu sendiri; danMaterialis
bahwa muara dari hubungan sosial terpusat pada bahan serta kondisi ekonomi,
struktur ekonomi dan pekerjaan.7
Perspektif ini kemudian dikembangkan oleh Pierre
Bourdieu yang lantas melahirkan teori reproduksi sosial. Dua konsep
utama dan krusial bagi karya Bourdieu adalah istilah habitus dan ranah (field).
Konsep-konsep penting tersebut ditopang oleh sejumlah ide lain seperti
kekuasaan simbolik, strategi dan perjuangan (kekuasaan simbolik dan material),
beserta beragam jenis modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik.
Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai
individu dan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur subjektif yang
terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam
jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan
sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam
realitas social. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema yang
terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami
menghargai serta mengevaluasi realitas social. Berbagai skema tercakup didalam
habitus seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi,
berguna-tidak berguna, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan,
indah-jelek, terhormat-terhina. Skema tersebut diwujudkan didalam istilah
sebagai hasil penamaan. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang memberi
kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam setiap keseharian mereka.Skema
tersebut diatas dapat dicontohkan dengan skema “sakit” yang merujuk pada suatu
kondisi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Karena sakit
tidak menyenangkan maka tindakan manusia harus diarahkan untuk menghindarinya,
termasuk menghindari orang-orang yang mungkin menyebabkan munculnya kondisi
sakit.
Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural
yakni pengaruh sejarah yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu
habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan. Habitus adalah produk sejarah
yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam
ruang dan waktu teretentu. Habitus menurut Bourdieu merupakan hasil
pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan
masyarakat di dalam arti luas. Pembelajaran yang dilakukan terkadang tidak kita
sadari dan secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang wajar, sehingga akan
kelihatan alamiah atau berasal dari sananya. Habitus juga mencakup pengetahuan
dan pemahaman seseorang mengenai dunia yang memberikan konstribusi tersendiri
pada realitas dunia itu. Habitus juga berubah-ubah yang mengupayakan adanya
kompromi dengan kondisi material. Hal ini akan memberikan konstribusi baru
untuk membangun sebuah prinsip baru untuk memunculkan sebuah praktik di dalam
individu.
Bourdie menekankan bahwa habitus adalah konstruksi
perantara bukan konstruksi yang mendeterminasi. Habitus juga merupakan sebuah
sifat yang tercipta karena kebutuhan. Habitus berhubungan dengan
harapan-harapan dalam kaitannya dalam bentuk modal yang secara erat diimbangi
dengan berbagai kemungkinan obyektif. Habitus secara erat dihubungkan dengan
modal karena sebagian habitus tersebut yang berupa fraksi sosial dan budaya
berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya ia
menciptakan sebentuk modal simbolik didalam dan dari diri mereka sendiri.
Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis dimana
ranah merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung
perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini di pandang mentransformasikan atau
mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal
untuk para aktor yang berlokasi di ranah tersebut. Ketika posisi telah dicapai
maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan
sikap-sikap yang berbeda dan memiliki efek tersendiri pada ekonomi.
Bourdieu mencoba memberikan contoh ranah yang
digambarkan di dalam analisisnya tentang pendidikan tinggi di Prancis, dimana
penggambaran ranah ada pada seluruh fakultas, grande ecole, petite ecole dan
sekolah-sekolah tinggi teknik. Aspek utama yang mengkarakteristikkan seluruh
institusi ini dan juga mahasiswa yang beserta aspirasi yang mereka miliki
tentang pendidikan merupakan integrasi antara praktik pendidikan dan struktur
objektif. Mahasiswa Paris berhadapan dengan berbagai prospek kerja yang sangat
bergantung pada kualitas gelar mereka dan pada peringkat sebagai simbolik dan
objektif sekolah tersebut di dalam ranah pendidikan. Sehingga ranah bukanlah
suatu konstruksi teoritis yang diberlakukan secara apriori, tetapi suatu
konstruksi yang hanya dapat ditentukan melalui riset empiris dan penelitian
etnografis.
Ruang sosial sebagai bentuk dari ranah memandang
realitas sosial sebagai topologi (ruang) yang terdiri dari beragam ranah yang
memiliki sejumlah hubungan antara satu dengan yang lainnya. Ruang sosial
hendaknya dilihat pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi sebagai sebuah ranah
kekuatan. Ide mengenai ruang sosial tidak dapat dipaksakan secara apriori
melainkan harus dimengerti dari pengamatan empiris, coraknya yang tepat, dan
konfiguirasi kekutan-kekuatannya yang diperoleh dari bukti yang tersedia.
Bourdieu dipandang telah mampu menjelaskan secara
komprehensif bagaimana terjadinya praktik sosial. Bourdieu berhasil merumuskan sebuah
teori tentang praktik sosial yang memberi kerangka bagi analisis terhadap
kehidupan sosial secara indigenous. Dengan konsep habitus, ranah, modal atau
kapital dan praktik yang dapat digunakan untuk menggali keunikan yang ada
didalam masyarakat mulai dari karakteristik subjektif individu sampai
karakteristik dari struktur objektif. Konsep tersebut digunakan untuk memahami
hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linier dan khas yang ada di
dalam masyarakat. Dengan metode tersebut kita dapat memahami bagaimana sebuah
nilai, norma, pengetahuan dan tindakan sosial itu terbentuk.
C.
Hubungan antara Pendidikan dengan
Reproduksi Sosial
Ada
pandangan yang kuat di kalangan para pendidik radikal bahwa pendidikan dan
penyelenggaraan proses belajar mengajar, di antaranya dalam bentuk pelatihan,
pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial
ekonomi dalam kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, hakikat pendidikan bagi
golongan mereka tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan
struktur sosial yang tidak adil, seperti sistem kelas, relasi gender, relasi
rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Pandangan seperti ini sering disebut
dengan pendidikan sebagai reproduksi
sosial.
Pola
pendidikan semacam ini telah lama dijalankan oleh bangsa Indonesia. Pola
pendidikan ini telah melahirkan orang-orang yang siap dipakai untuk
kepentingan-kepentingan sesaat. Out-put pendidikan seperti ini adalah
orang-orang yang diatur sedemikian rupa untuk mengisi kepentingan politik
tertentu. Dalam hal ini, pendidikan adalah wahana penjinakan atau alat hegemoni
dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Proses aktualisasi dalam belajar
mengajar seperti ini adalah sama dengan yang dikritik oleh Paule Freire dengan
teori Banking Concept of Education (BCE).
Menurut Freire, setidaknya terdapat tiga asumsi —yang menurutnya
tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE.
Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek dan bukan
sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia dan dunia:
seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan dunia atau
manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-kreator.
Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya.
Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke dalam tindakan belajar mengajar di
kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang
akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru
serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru
adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan
belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada
murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal.
Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis,
terbagi-bagi dan dapat diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut
Freire, BCE tidak akan mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan
realitas. Murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang
diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas
yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah
ketika murid telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah
didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang
dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingya,
karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.8
Lebih
lanjut, Freire menegaskan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia kembali.
Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan
sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses
dehumanisasi.8
Reproduksi
sosial menuntut suatu proses legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah
dicanangkan melalui suatu ingatan bahwa kekuatan sosial terlihat dalam bentuk
pertukaran ekonomis, dan karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara
juju. Sejumlah penulis berpendapat bahwa ideologi balas jasa telah menempatkan
dirinya sebagai tema yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian,
upaya perorangan, keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian
rumusan kemampuan dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang
maju. Ada bentuk lain bagaimana ideologi “balas jasa” meningkat pesat, dalam
arti, tak hanya dalam bentuk pengakuan formal kemajuan melainkan juga melalui
atribut pribadi yang ‘bukan sebagai kepribadian’. Kepicikan pengertian ini
mencuat sebagai upaya pembenaran atas proses seleksi yang terjadi, alokasi, dan
penghargaan sosial. Hal ini memerlukan suatu fleksibilitas dalam hubungannya
dengan sistem pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang
cocok dengan jenis pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan
dengan melibatkan karakter kepribadian menjadi pernilaian.
Tentu saja proses
ini selalu terjadi, namun kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di
tempat-tempat kerja. Proses ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan
akan keterampilan-keterampilan di berbagai pangsa pasar kerja yang
berbeda-beda. Proses tersebut terpaut langsung dengan kebutuhan perkembangan
keterampilan-keterampilan pribadi dalam berbagai segmen pasar kerja. Sebagai
isi ideologi yang selalu berubah maka perubahan itu juga terjadi di dalam
praktik sosial yang menguatkan pengetahuan dunia sosial.
Tak hanya
sebatas itu, relasi dan praktik sosial juga suatu bentukan ideologis dan
melayani kepentingan alami ideologi bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan
penting dalam analisa reproduksi sosial yang menitik-beratkan pada ideologi
sebagai kumpulan gagasan yang tak terpisahkan dari praktik sosial. Althusser
tidak mempertimbangkan persoalan mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi
dan lembaga.9 Althusser betul ketika beranggapan bahwa kompleks
sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk mereproduksi relasi sosial suatu
produksi. Namun dari sudut pandang feminis, justru penting mencari jalan keluar
dari berbagai pertentangan itu daripada sekadar menganalisa kompleks
‘sekolah-keluarga’ yang saling menekan satu sama lain dalam rangka mempersiapkan
orang masuk ke pasar kerja. Kompleks ‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang
menentukan bagi reproduksi sosial ‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun
demikian, lembaga keluarga dan sistem pendidikan hanya institusi pedagogis, dan
diyakini demikian. Tak hanya keluarga atau sekolah sebagai lembaga yang
meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi juga ideologi berkuasa keluarga dan
sistem pendidikan menjadi tempat bagi pembelajaran dan sosialisasinya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Reproduksi
sosial ialahpenggantian orang atau struktur dengan satu format baru yang mirip dengan
yang asli, sehingga sistem sosial dapat berlangsung terus. Dalam reproduksi sosial
terkandung proses untuk melestarikan atau melanggengkan
karakteristik struktur sosial tertentu atau tradisi tertentu selama periode
waktu tertentu juga.
2. Lahirnya teori reproduksi sosial diawali dari teori konflik-nya Karl Mark
yangmenekankan
adanya konflik sebagai faktor terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial
merupakan sesuatu yang harus diwujudkan di masyarakat. Faktor utama yang
mendorongterjadinya perubahan sosial adalah adanya konflik yang terjadi di masyarakat.Perspektif
ini kemudian dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang
lantas melahirkan teori reproduksi sosial.
3. Pendidikan
sebagai reproduski sosial memandang bahwa pendidikan merupakan sarana untuk
mereproduksi sistem dan struktur sosial seperti sistem kelas, relasi gender,
relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Di sinilah terjadinya hubungan
antara pendidikan dengan reproduksi sosial.
1Wojowasito & Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris Indonesia,
(Bandung: Hasta, 1980), h. 160.
2Leonard D. Marsam, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Surabaya: CV. Karya Utama, 1983),
h. 221.
6Nurani Soyomukti,Teori-teori
pendidikan, (Bandung: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 351.
7Dalam:http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2216480-definisi-sosiologi-pendidikan/#ixzz1xpAlD9xJ, diakses, 12 Juni
2012.
8Dalam:http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2001/Mengenal%20Filsafat%20Pendidikan%20Paulo%20Freire.pdf, diakses, 12 Juni 2012.
9Dalam: http://e-kalyanamitra.blogspot.com/2007/03/pendidikan-dan-reproduksi-sosial-sistem.html, diakses, 12 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...