PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: kejujuran vs kecurangan massal

20/12/2012

kejujuran vs kecurangan massal



KEJUJURAN vs KECURANGAN MASSAL
Oleh: Nanang M. Safa'

Sudah banyak konsep yang ditawarkan para ahli yang bermuara pada penanaman kejujuran pada siswa, mulai dari kantin kejujuran, tray out kejujuran, quiz kejujuran dan seterusnya, namun hasilnya ternyata masih jauh dari harapan. Jika dicermati dari sejumlah kasus pelanggaran ketidakjujuran yang terjadi, ternyata semuanya bermuara pada kepentingan sistem, artinya di satu sisi sebenarnya siswa sudah mulai bisa berlaku jujur, tapi di sisi lain ternyata justru ada pihak-pihak yang tidak rela jika siswa menjadi benar-benar jujur.
Contoh paling sederhana adalah pada penentuan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).  Pihak sekolah seringkali harus jaga gengsi dengan menentukan nilai KKM tinggi untuk bisa mengikuti pangsa pasar agar outputnya kelak laku di jenjang berikutnya atau di dunia kerja hingga akhirnya guru terpaksa harus "ngaji" –ngarang biji- dengan mengatrol nilai siswa agar bisa mencapai KKM yang tinggi tersebut. Dampak dari kebijakan yang tidak bijaksana ini adalah siswa menjadi acuh, cuek dan malas, toch untuk dapat mencapai nilai KKM, mereka tidak perlu bersusah payah belajar.  Sebaliknya bagi siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata menjadi kurang termotivasi untuk terus berprestasi.
Dalam sebuah diskusi kecil pada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) ada sebuah ungkapan yang bernada sarkartis menyangkut penilaian terhadap hasil evaluasi belajar siswa. Seorang guru muda yang dikenal cukup kritis melontarkan uneg-unegnya bahwa sistem penilaian tempoe doeloe” sepertinya lebih obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan. Penentuan nilai siswa yang tidak dipatok KKM (ditulis apa adanya sesuai hasil capaian siswa bersangkutan) justru memberikan efek positif bagi siswa dan dapat memacu siswa untuk giat belajar. Di pihak lain guru juga harus berjuang lebih giat untuk menghindari cap sebagai guru yang tidak becus mengajar lantaran banyak siswa yang nilainya dibawah enam. 
Ujian Nasional formulasi baru yang digagas Kementerian Pendidikan  Nasional sebagai  penyempurnaan dari sistem unas tahun-tahun sebelumnya juga masih menyisakan sejumlah masalah. Sistem kelulusan yang mensyaratkan 40 % kelulusan didasarkan pada nilai rapor siswa, sudah sejak awal "diantisipasi" pihak sekolah. Banyak sekolah yang merekayasa nilai rapor dengan membuat "rapor bayangan" yaitu rapor yang berisi nilai hasil modifikasi untuk mengantisipasi banyaknya siswa yang mendapat nilai rendah saat ujian nasional kelak. Belum lagi berbagai laporan kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan Ujian Nasional digelar, seperti praktik perjokian, penunjukan siswa pandai sebagai “pemandu jawaban”, pengaturan formasi pembagian paket soal, masih adanya siswa peserta ujian dan pengawas yang membawa hp ke dalam ruang ujian, hingga adanya intimidasi terhadap para pengawas ruang oleh pihak sekolah penyelenggara.
Jauh-jauh hari sebelum Ujian Nasional digelar, Mendiknas Moh. Nuh sudah mewanti-wanti agar pihak sekolah tidak bermain-main dengan Ujian Nasional, sebab jika sampai ditemukan kecurangan yang dilakukan pihak sekolah, maka mendiknas tidak segan-segan memberi sanksi berat.
Lain mendiknas lain pula Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI). Organisasi yang nota bene memayungi guru di Indonesia tersebut justru bisa mentolerir para guru yang yang bertindak tidak sportif dalam Ujian Nasional (Jawa Pos, Jum'at 15 April 2011). Toleransi PB PGRI ini didasarkan pada beratnya tanggung jawab sekolah sebagai pihak yang berada pada posisi terjepit yaitu bahwa sekolah punya kewajiban "tidak tertulis" harus bisa meluluskan seluruh siswanya. Tekanan itu tidak hanya datang dari masyarakat (wali murid) namun tekanan lebih keras justru datang dari atasan. Seperti sebuah mata rantai, guru ditekan oleh Kepala Sekolah, Kepala Sekolah ditekan habis-habisan oleh Kepala Dinas (sebagai kepanjangan tangan) dari Kepala Daerah yang menuntut 90 hingga 97 persen kelulusan, padahal menurut itung-itungan PGRI sendiri yang paham betul tentang kondisi sekolah-sekolah di Indonesia, jika saja Ujian Nasional dilakukan secara sportif dan obyektif maka kelulusan siswa paling banter hanya bisa mencapai 50 % saja. Maka dapat dimaklumi jika masih banyak pihak yang tidak respek terhadap hasil capaian ujian nasional sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan nasional.
Uraian di atas hanya sebuah gambaran kecil tentang betapa sebuah kejujuran di dunia pendidikan kita sudah menjadi barang antik yang sangat sulit dicari. Jika benar demikian, sepertinya cita-cita untuk membangun negara ini menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem atau baldatun thoyyibatun wa roobun ghofur hanya ada dalam kidungan. Mari kita renungkan!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...