PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Tanggung Jawab Pendidikan Remaja

23/01/2016

Tanggung Jawab Pendidikan Remaja

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN REMAJA
Oleh : Nanang M. Safa'

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan menuju masa dewasa yang matang dan mandiri. Tidak ada kata sepakat mengenai pengertian remaja serta batas usia remaja di kalangan para ahli. Namun menurut suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, secara global masa remaja berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun, dengan pembagian secara global usia 12-15 tahun disebut remaja awal, usia 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun masa remaja akhir (F.J Monk : 1994).

Pada fase ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial menyangkut kematangan fungsi psikologis dan fisiologis, terutama fungsi seksual (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang : 1990). Di samping secara intern seorang remaja mengalami kegelisahan akibat perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, secara ekstern remaja juga acapkali mengalami benturan pemahaman yang memunculkan konflik dengan lingkungan sosialnya.
Remaja belum memiliki kematangan sikap dan pendirian. Remaja cenderung melakukan imitasi (meniru) hal-hal yang dianggap sesuai dengan keinginannya serta cenderung untuk merealisasikan imajinasinya dengan mencoba-coba hal baru tanpa memperhitungkan akibatnya. Remaja juga mulai melepaskan diri dari kehidupan keluarga yang mengikatnya selama masa kanak-kanaknya untuk bergabung dengan peer group atau kelompok sebayanya. Remaja sedang berada dalam masa yang tidak stabil (labil) atau masa goncang karena ketidakjelasan statusnya ini.

Memang keadaan seperti ini bersifat alamiah, artinya tiap-tiap individu yang memasuki usia remaja pasti akan mengalaminya. Banyaknya kasus pelecehan seksual dan kriminalitas remaja setelah ditelusuri ternyata hanyalah didorong oleh rasa penasaran terhadap hal-hal baru yang baru didengar, dibaca atau ditontonnya. Tindakan inipun mayoritas dilakukan secara bersama dalam peer-groupnya, jarang sekali tindakan pelanggaran norma ini dilakukan secara perorangan sebab para remaja sangat khawatir tidak diterima dalam peer-groupnya.
Jika kita sepakat bahwa para remaja adalah para generasi penerus bangsa yang nantinya diharapkan bisa menjadi generasi berkualitas, maka mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan. Landasan pokok terbentuknya pribadi yang berkualitas adalah nilai-nilai pendidikan agama.

Munculnya kenakalan dan tindak kriminalitas di kalangan remaja lebih disebabkan karena merosotnya moral agama di kalangan remaja. Maka menjadi suatu yang ironis ketika pelajaran agama dianggap sebagai pelajaran lapis kedua setelah Matematika, IPA, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (mata pelajaran unas). Maka jangan buru-buru menyalahkan remaja ketika mereka tidak lagi santun kepada guru atau tidak lagi hormat kepada orang tua atau tidak lagi sungkan mengobral maksiat di tempat umum, dan sebagainya.

Ketika sikap dan tindakan negatif remaja sudah semakin meresahkan, lalu banyak orang mengusulkan agar pendidikan sex, kesadaran berlalu lintas, korupsi, bahkan kejujuran dimasukkan tersendiri ke dalam kurikulum pendidikan nasional, padahal kesemuanya itu pada hakekatnya bermuara pada pendidikan moral. Maka menarik apa yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya bahwa seharusnya semua materi yang ada pada kurikulum nasional diintegrasikan. Pelajaran agama bisa diajarkan bersamaan dengan materi pelajaran sosiologi, matematika, ekonomi dan yang lainnya. Pendidikan seperti inilah yang akan dapat membikin anak cerdas dan dapat membentuk karakter anak. Prof. Zainuddin lantas membandingkan para peserta didik di Australia yang hanya belajar 3 materi pelajaran pada satu semester sementara para peserta didik di Indonesia sedikitnya harus melahap 14 materi pelajaran pada satu semester. Lalu harus ditambah berapa materi lagi?!

Kebanyakan orang tua sekarang sepertinya sedang dilanda penyakit “takut memilki anak bodoh”. Artinya mereka sangat takut jika anak-anaknya dikatakan bodoh ketika nilai-nilai hasil ulangan dalam simbol angka-angka dalam buku rapor jelek. Sebaliknya mereka akan sangat bangga dan mengagung-agungkan anaknya (di depan anaknya tersebut atau menggunjingkannya di antara teman-temannya) ketika angka-angka di buku rapor anaknya bagus-bagus dengan tiada keinginan untuk tahu bagimana cara anaknya tersebut mendapatkan nilai sebagus itu. Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa seorang siswa dari SD Gadel yang harus jadi bulan-bulanan ketika dia mengadu kepada ibunya berkenaan dengan perlakuan guru dan teman-temannya lantaran dia tidak bersedia (baca: menolak) dijadikan “joki” di kalangan teman-temannya. Benar-benar sebuah gambaran ironi tentang betapa mahalnya harga sebuah kejujuran.

Memang, pendidikan formal di sekolah merupakan satu jalur pendidikan yang paling sistematis dan memiliki program terarah. Namun toch pendidikan bukan semata hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Orang tua (keluarga), masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama memiliki tanggung jawab yang sama dan saling ketergantungan terhadap pendidikan putra-putri bangsa.

Banyak orang tua yang buru-buru lepas tangan dan merasa bebas dari tanggung jawab mendidik putra putrinya ketika mereka telah menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal (baca: sekolah). Padahal tanggung jawab mendidik anak bagi orang tua biar bagaimanapun tetap tidak bisa digantikan oleh siapapun. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama bagi anak. Segala hal yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap kehidupan anak pada masa-masa selanjutnya, disamping juga merupakan dasar (pondasi) bagi perkembangan jiwa anak. Penanggung jawab pendidikan keluarga ini adalah kedua orang tua, didukung oleh anggota keluarga yang lain. Relasi dan interaksi dalam keluarga yang harmonis dan komunikatif akan sangat membantu tercapainya tujuan pendidikan seperti yang diharapkan.

Selanjutnya, masyarakat merupakan lingkungan kedua tempat anak melakukan berbagai aktifitas dan menghabiskan banyak waktu. Pendidikan dalam masyarakat telah dimulai ketika anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarga. Masyarakat yang permisif terhadap keberadaan remaja dengan memberikan ruang berkreasi dan berekspresi bagi remaja adalah masyarakat yang menjadi dambaan remaja. Sebaliknya masyarakat yang cuek dan cenderung hanya menghakimi akan membuat remaja semakin apatis terhadap lingkungannya dan akhirnya mereka akan menciptakan dunia lain bersama kelompok sebayanya dengan kegiatan-kegiatan yang cenderung negative sebagai perwujudan dari dunia yang mereka impikan.

Dengan adanya kerja sama dari ketiga lembaga pendidikan tersebut, diharapkan pendidikan dapat berjalan secara kontinyu dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.


Dimuat di majalah MPA Kemenag Jawa Timur, edisi 352/Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...